Tulisan ini saya buat hasil dari pembicaraan saya dengan seorang teman tadi malam.
Pada awal mulai berinvestasi saham, saya cuma sekedar tiap bulan nambah duit di RDN utk beli saham yang bagus menurut saya. Waktu awal, fokus lbh ke trading2 short term, 2-3 hari jual, dan dpt cuan lumayan. Jauh lbh besar hasilnya dibandingkan bunga deposito. Apalagi ketika thn 2009, begitu bursa rebound setelah crash 2008, itu apa aja yang kita beli pasti jadi duit.
2010 kepentok CL 40% semua porto di saham busuk, dan akhirnya jadi mulai belajar FA, dan sejak itu mulai fokus milih saham2 murah yang bs kasih capital gain lumayan (ratusan persen) dalam 1-3 thn hold.
Beberapa thn kemudian, karena modal sudah lbh besar, jadi agak males keluar masuk, dan akhirnya mulai mencoba deviden investing. Dan mulai dapat kenikmatan dr setiap dapat deviden, apalagi kalo yieldnya di atas bunga deposito.
Crash 2020 akhirnya yang membuat saya beralih sepenuhnya jadi devidend investor, karena banyak saham2 berdeviden tinggi yang diobral harganya..
Dari setiap penurunan dalam di bursa, 2008, 2011, 2013, 2015, 2020, saya banyak mendapati posisi ga punya cash sama sekali ketika bursa di bottom. Portofolio minus bisa 15-20% ketika bottom terjadi. Tapi ketika bursa rebound, reboundnya jg cepat, sehingga akhirnya floating loss berubah lg menjadi floating gain. Jadi saran saya, bila ada penurunan dalam di bursa saham, sebaiknya kita tetap di dalam. Porto di-switch gpp, tapi ngga usah dijual smua dan pegang cash. Karena kalo pegang cash dan bursa rebound, bisa aja kita akan beli di harga yang jauh lebih mahal nantinya..
Setelah menjadi devidend investor, saya mungkin agak menyesal, kenapa saya ngga menjalani gaya investasi seperti ini dr dulu saja.. Karena, untuk investasi long term, kemungkinan berhasil devidend investing ini menurut saya hampir 100%. Asumsinya, kita investasi di saham yang royal deviden dan tetap ada prospek growth yang bagus di masa depan. Jadi ngga sembarangan juga beli saham yang berdeviden tinggi..
Untuk perbandingannya mungkin begini.
Investor A. Total portofolio saham Rp 2M. Biaya hidup Rp 100jt setahun. Tidak ada deviden dr porto sahamnya, sehingga dia harus muter duit terus utk mencari cuan dr sahamnya. Kelebihan metodenya : dia bs mendapatkan capital gain yang sangat besar dari saham2 yang dia punya. Kekurangan metodenya : bisa saja dia mendapatkan loss yang sangat dalam dr saham2 yang dia beli.
Investor B. Total portfolio saham hanya Rp 1M. Biaya hidup Rp 100jt setahun. Dia hanya pegang saham2 deviden di dalam portfolionya, yang di tahun ini dan thn ke depan, estimasi devidennya minimal Rp 150jt setahun. Deviden akan tumbuh lbh tinggi sejalan dengan pertumbuhan kinerja perusahaan. Kelebihan metodenya : Pasif income minimal Rp 150jt /thn akan trs dia dapatkan selama dia hold sahamnya. Semua kebutuhan hidup terpenuhi dr deviden, plus ada ekstra Rp 50jt setiap thn utk di-reinvest. Kekurangan metodenya : Pertumbuhan nilai portfolionya mungkin ngga akan tinggi2 sekali, karena ngga akan bs naik di atas 500% dalam 1-2 tahun, misalnya.. Jadi secara market value, bisa saja kalah jauh dengan investor A. Selain itu juga harus sabar kalo nanti terjadi penurunan dalam di bursa, sehingga portfolio sahamnya pun akan turun dalam...
Asumsi di atas, investor A dan B adalah full time investor, tidak ada income lain selain dari portfolio sahamnya.
Jalan mana yang akan Anda pilih sbg investor saham?
Bila fokus anda hanya untuk menambah aset, mungkin investor A akan lebih cocok untuk anda ikuti.
Bila fokus anda adalah untuk menambah aset produktif, investor B lah yang sebaiknya anda ikuti caranya.
Mungkin tulisan saya di atas bisa membantu utk pemilihan saham dalam portfolio kita...
Selamat berinvestasi saham, semoga saham2 kita akan memberikan hasil yang baik di masa depan.. Aamiin..
Warm Regards,
V3
kalo aset masi d bawah 100 jt lebih baik cari capital gain ya brti bu
BalasHapusWah, ini sepertinya tgt ke orangnya lagi ya. Kalo skill tradingnya sdh bagus, mencari capital gain akan lbh gampang drpd nungguin deviden. Hasilnya mungkin akan jauh lbh besar. Tapi kalau skill tradingnya msh minim, mungkin jadi lebih beresiko, lbh tenang di saham deviden. Ini menurut saya, ya..
BalasHapus